Copas dari status Dr.
Denny Widaya Lukman
(Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
mengenai kaitan antara Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dengan importasi
daging, semoga memberi pencerahan.
Masih sering saya mendengar
atau membaca pernyataan terkait kekhawatiran terbawanya virus Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK) melalui daging ruminansia, khususnya daging sapi
dan kerbau. Sesungguhnya kekhawatiran atau bahkan ketakutan tersebut
TIDAK PERLU ADA (bahkan kekhawatirannya disebarluaskan) karena secara
ilmiah telah dibuktikan oleh penelitian yang dipublikasi, yang salah
satunya dalam Journal of Hygiene (London) Tahun 1948 No 46 Vol 4 Hal
394-402 (Henderson WM and Brooksby JB). Virus PMK tidak bertahan hidup
dalam daging (deboned and deglanded) yang telah mengalami rigor mortis,
namun masih bertahan hidup pada hati, ginjal, rumen, dan darah yang
dibekukan. Kondisi pH pada daging setelah rigor mortis (pH<5.9;
umumnya rigor mortis daging sapi terjadi pada pH 5.9) sebagai
PENYEBAB-nya. Sepanjang daging "deboned and deglanded" serta telah
dilayukan (pH<6.0) risiko adanya virus di daging DAPAT DIABAIKAN.
Dalam era perdagangan bebas pun WTO memberlakukan "Sanitary and
Phytosanitary Agreement" (SPS agreement) agar setiap negara dapat
melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan di negaranya yang
mungkin terbawa okeh komoditi yang diperdagangkan. Untuk itu negara
diwajibkan memiliki alasan yang ilmiah. Alat yang dapat digunakan untuk
menilai "kemungkinan atau peluang masuknya bibit penyakit yang terbawa
koniditi dan kemungkinan dampaknya di negara pengimpor" adalah analisis
risiko (risk analysis).
Badan Kesehatan Hewan Dunia atau World
Organisation for Animal Health (WOAH) atau dikenal dengan istilah OIE
telah mengeluarkan acuan "Import Risk Analysis (IRA) for Amimals and
Animal Products" di dalam Terrestrial Animal Health Code. Tidak ada
prosedur baku atau aturan baku bagaimana IRA harus dilaksanakan oleh
setiap negara.
IRA terdiri atas 4 komponen, yaitu (1)
identifikasi bahaya (hazard identification), (2) penilaian risiko (risk
assessment), (3) manajemen rusiko (risk management), da (4) komunikasi
risiko (risk communication). IRA ini sedikit berbeda dari Risk Analysis
yang dikembangkan oleh Codex Alimentarius untuk Pangan, terutama
Mikrobiologi. Analisis risiko yang umum dilakukan bersifat kualitatif,
walaupun dapat dilakukan secara semi kuantitatif dan kuantitatif.
Analisis risiko yang dilakukan secara kualitatif harus dilakukan dengan
bukti ilmiah dan data yang sahih. Pendapat para ahli di berbagai bidang
dapat dimasukkan. Keragaman (variability) dan ketidakpastian
(uncertainty) harus tetap dipertimbangkan.
Dalam tahap
identifikasi bahaya, bahaya yang signifikan yang mungkin terbawa hewan
atau produk hewan yang akan dimasukkan dinilai dan diidentifikasi secara
seksama. Jika bahaya tersebut tidak signifikan maka penulsian risiko
tidak dilakukan, namun Manajemen Risiko dan Komunikasi Risiko tetap
harus dirancang dan nantinya diimplementasikan.
OIE menerbitkan
Terrestrial Animal Health Code dan Aquatic Animal Health Code untuk
dijadikan PEDOMAN bagi negara-negara anggotanya dalam rangka pembebasan,
pengendalian, atau pencegahan beberapa penyakit hewan yang perlu
dilaporkan secara internasional, termasuk dalam perdagangan hewan dan
produk hewan,serta bahan-bahan asal hewan untuk farmasetik, diagnostik,
dan kosmestik. Pedoman tersebut setiap tahun direvisi.
Terkait
pemasukan daging ruminansia terkait PMK, OIE telah membuat pembagian
"status" negara/zona serta tindakan-tindakan sanitary-nya bilamana
mengimpor hewan dan produk hewan.
Terkait PMK, OIE membuat
rekomendasi impor dari status negara atau zona yang diakui sebagai
"Negara atau Zona yang melaksanakan Program Pengendalian PMK Resmi
(importation from FMD infected countries or zones where an official
control programme exists)" terkait pemasukan daging segar sapi atau
kerbau (selain kaki, kepala, dan jeroan). Rekomendasi tersebut tertuang
dalam Article 8.8.22 OIE Terrestrial Animal Health Code tahun 2016
(dalam Article yang sama pada tahun 2015).
Sesuai paturan
perundangan bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemasukan produk
hewan dari "negara baru" harus melalui analisis risiko. Selain itu,
dilakukan pula penilaian sistem kesehatan hewan dan Kesmavet, serta
audit higiene sanitasi di setiap RPH yang akan mengekspor dagingnya.
Acuan dalamTerrestrial Animal Health Code OIE dijadikan acuan dasar
penilaian.
Sekalipun Indonesia telah membuat prosedur sanitary
terkait impor, BUKAN berarti kita BEBAS impor hewan dan produk hewan.
Apalagi jika prosedur yang ada tidak dilakukan dengan konsisten.
Semoga Allah SWT selalu memberi petunjuk dan bimbinganNya pada Pemimpin
dan Pembuat Kebijakan di negeri ini agar bangsa dan negara ini mencapai
cita-citanya, INDONESIA RAYA
aamiin yaa robbal'aalaamiin